Ineksi.org, JAKARTA – Pasca Orde Baru Pemerintah tak lagi menetapkan sektor prioritas dalam pengembangan koperasi. Koperasi Unit Desa (KUD) yang bergerak di pertanian dan perikanan dulu menjadi program prioritas.
Melalui Inpres No. 18 Tahun 1998 Pemerintah mencabut program KUD dan beri keleluasaan masyarakat dirikan koperasi. Hasilnya, koperasi simpan pinjam lebih masif daripada pertanian.
Saat ini volume koperasi mencapai Rp 197 triliun yang hampir 66 persen berasal dari usaha simpan pinjam (2022).
Sebagai pembanding, volume usaha koperasi rata-rata dunia justru 53,2 persen bersumber dari sektor riil.
Layanan keuangan dalam bentuk saving and loan, credit union atau coop bank, hanya menyumbang 5,6 persen. Porsi besar lainnya berasal dari jasa asuransi, 41,2 persen (PBB, 2014).
Untuk mengungkit pertumbuhan sektor riil, RPJPN koperasi 20 tahun mendatang fokus ke agromaritim. Pilihan itu tepat melihat kontribusi signifikan sektor pertanian di PDB sebesar 13,57 persen (2023).
Koperasi perlu menjejak kembali ke lahan dan laut sebagai basis kelembagaan pangan yang berkelanjutan.
Di Asia, Korea Selatan dan Jepang dapat dijadikan contoh. Di sana sektor pertanian sebagian besar dikuasai koperasi. Dukungan Pemerintah sangat kuat. Dari segi regulasi, masing-masing sektor punya undang-undang sendiri.
Seperti di Jepang, UU Koperasi Pertanian (1947) dan UU Koperasi Perikanan (1948). Hal itu dicontoh persis oleh Korea Selatan, UU Koperasi Pertanian (1957) dan UU Koperasi Perikanan (1962).
UU memandatkan pemberdayaan koperasi diserahkan pada kementerian/lembaga sektoral masing-masing.
Selain UU, dukungan lain, yakni hak eksklusif distribusi pupuk, bahan kimia, mesin pertanian, dan benih. Pemerintah juga memberikan perlindungan usaha dan pembebasan pajak (Hyun, 2012).
Sejarahnya mirip dengan KUD dulu kala, di mana peran Pemerintah sangat besar pada fase ofisiliasasi. Lalu, berubah menjadi otonom karena desakan dari bawah.
Secara bisnis koperasi pertanian di sana fokus pada efisiensi organisasi melalui perluasan economies of scope. Wujudnya adalah koperasi pertanian serba usaha yang selenggarakan layanan agribisnis dan keuangan.
Berbeda dengan itu, kebijakan Kementerian Pertanian justru lakukan demarkasi, Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) dan koperasi pertanian berdiri sendiri. Hal itu boleh jadi perlu ditinjau ulang efektivitasnya.
Selain dari lingkup usaha, mereka juga lakukan konsolidasi kelembagaan melalui merger. Tujuannya untuk tingkatkan economies of scale.
Dalam rentang 1955-2002, jumlah koperasi pertanian di Jepang turun dari 12.834 unit menjadi hanya 1.111 unit. Sebaliknya, jumlah anggotanya meningkat (Kurimoto, 2004).
Sedang di Korea Selatan, merger terjadi sejak tahun 1963 dari 21.239 unit menjadi hanya 1.122 unit pada 2018 (Choi, dkk, 2020).
Pendekatan semacam itu perlu diadopsi. Koperasi pertanian kita sebagian besar berskala mikro dengan sumber daya terbatas.
Pemerintah dapat beri insentif tertentu untuk mendorong merger, misalnya pajak, pendanaan dan peningkatan kapasitas. Prinsipnya, makin besar kapasitas makin kuat posisi tawar di pasar.
Agar efektif dalam layanan dan koordinasi usaha, keberadaan Kelompok Tani (Poktan) tetap relevan. Koperasi pertanian di Jepang bersifat local embedded. Mereka berkembang berdasar kesamaan teritorial.
Poktan-poktan di masyarakat dapat menjadi kaki-kaki layanan koperasi dan wadah pembinaan anggota. Sebab, usaha tani sangat kompleks. Tak sekadar urusan bisnis, tapi juga soal cuaca, hama, budaya serta faktor non-bisnis lainnya.
Prof. Akira Kurimoto (2020) melihat sebagian koperasi pertanian di Asia didirikan secara top down untuk laksanakan kebijakan Pemerintah. Sebagian yang lain didirikan secara bottom up atas prakarsa masyarakat.
Namun keduanya, kata ilmuwan koperasi itu, punya masalah senada, yaitu kurangnya komitmen anggota, permodalan dan kapasitas kewirausahaan.
Tiga masalah itu juga terjadi di Indonesia. Corak koperasi pertanian di kita sebagian besar tradisional. Di mana tak ada kontrak atau komitmen berapa jumlah komoditas yang dipasok anggota kepada koperasi dalam waktu tertentu.
Alhasil, pusat pengolahan koperasi tak beroperasi secara kontinyu. Implikasi lain, anggota free rider bermunculan, yang gunakan layanan koperasi namun asimetris pada kontribusi modal.
Komitmen anggota perlu dipertebal, pola yang dikembangkan Agriterra, konsultan koperasi asal Belanda, dapat dicontoh.
Model New Generation Cooperative (NGC) yang berkembang sejak 1970-an, terbukti tingkatkan komitmen anggota pada dua sisi sekaligus, pasokan komoditas dan kontribusi modal.
Komitmen berupa kontrak perlu dibudayakan agar anggota dan usaha koperasi berjalan rasional.
Soal kewirausahaan, Prof. Lukman M. Baga, Guru Besar IPB, beri saran praktis, seeing is believing. Pemerintah bisa fasilitasi pengurus koperasi potensial untuk studi tiru ke koperasi unggulan dunia. Agar mereka lihat langsung bagaimana kisah sukses itu dibangun.
Sepulangnnya, imajinasi dan gagasan baru bakal terbangun, gairah dan mimpi kembali membara.
Dulu Ignasius Jonan lakukan hal yang sama. Ia berangkatkan 3000-an pegawai KAI studi tiru ke Perancis dan China untuk memulai transformasi industri kereta api Indonesia (2013).
Asta Cita Ketiga Presiden mendatang sudah gamblang, “… mengembangkan industri agromaritim di sentra produksi melalui peran aktif koperasi”.
Agar efektif, Presiden nampaknya perlu langsung mengorkestrasi kementerian/lembaga terkait guna eliminir perangkap silo birokrasi.
Agar implementasi kebijakan di sisi hulu kompatibel dengan sisi hilir. Agar saling silang program berjalan sinergis dan tak bingungkan masyarakat.
Penguatan regulasi dapat diupayakan melalui UU Perkoperasian yang ke depan akan direvisi. Pasal-pasal terkait koperasi pertanian dan perikanan perlu diperkaya.
Tak perlu ragu untuk beri afirmasi kuat bahwa kelembagaan ekonomi yang tepat adalah koperasi. Sebab praktiknya telah terbukti di banyak belahan dunia.
Sepulang lawatan KTT G20 di India, September 2023, Menteri Perdagangan beri testimoni saat Rapat Kerja dengan DPR RI.
Ia kisahkan bagaimana seluruh lini usaha pertanian di sana berbasis koperasi. Strategi itu yang membuat India surplus beras dan dapat cukupi pangan bagi 1,4 miliar warganya.
Dalam lima tahun mendatang koperasi harusnya mulai terlihat geliatnya. Tak lagi sekadar “omon-omon” soal cita-cita luhur yang diperingati saban tanggal 12 Juli.
Untuk itu, meminjam istilah Prof. Agus Pakpahan, Rektor Ikopin, Presiden mendatang harus menjadi “super kooperator” yang miliki afirmasi besar dan determinasi kuat pada koperasi.
Dikutip dari money.kompas.com